GOSTAGE.com – Menyaksikan tayangan Kick Andy di sebuah stasiun televisi swasta Jumat, 25 September 2009 tentang derita korban lumpur lapindo sungguh miris dan menyayat hati. Betapa tidak, setelah tiga tahun lebih musibah semburan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur terjadi, masih menimbulkan banyak persoalan. Belum lagi dampak yang ditinggalkannya, tidak terhitung berapa kerugian baik itu materi maupun non materi yang diderita oleh masyarakat sekitar. Ya… tragedi lumpur lapindo memang sudah menimbulkan kepedihan dan luka bagi mereka.
Hal yang lebih miris lagi adalah ketika mendengar manakala aparat setempat telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 atas musibah lumpur lapindo ini. Dengan dikeluarkannya SP3 tersebut, persoalan inti dari musibah yang menghancurkan kehidupan warga setempat dianggap selesai. Namun benarkah demikian? Bagaimana kenyataan yang terjadi dilapangan?
Dari tayangan Kick Andy tersebut sangat jelas terlihat dan terbaca bahwa persoalan yang tertinggal dan dirasakan oleh para korban masih begitu banyak. Persoalan yang sampai saat ini belum tuntas adalah masalah ganti rugi. Dalam acara tersebut turut diwawancarai beberapa orang warga korban lumpur lapindo. Warga yang diundang menurut saya cukup mewakili beberapa sebaran kelompok korban dan permasalahannya.PT. Minarak Lapindo Brantas sudah mengucurkan dana untuk ganti rugi sebesar 20%, sementara sisanya 80% belum juga terealisasi.
Pertama Ibu Tuini, diceritakan bahwa wanita paruh baya ini saat ini terpaksa tinggal di sebuah gubuk yang sangat tidak layak di dusun Kedung Kampil, Porong. Gubuk yang hanya berukuran sekitar 3 X 4 meter itu ia huni bersama dengan anak dan cucunya. Dapat kita bayangkan, bagaimana sumpek dan sempitnya ruang gerak buat mereka. Sambil bercucuran airmata ia mengeluh dan tidak tahu sampai kapan penderitaanya harus berakhir. Ia mengaku, memang sudah mendapatkan ganti rugi sebesar 20 persen, Uang itu ternyata sudah habis buat mengontrak rumah. Dan untuk menghidupi anak cucunya ia terpaksa kerja serabutan,misalnya mencuci pakaian. Ia berharap akan segera mendapat sisa ganti rugi sebesar 80 persen. Dan, disinilah pokok persoalannya. Ternyata sisa ganti rugi sebesar 80 persen, oleh PT Minarak Lapindo Brantas dicicil Rp 15 juta per bulan. Dan itu pun tersendat-sendat pembayarannya. Akibatnya menurut dia banyak korban lumpur lapindo yang kesulitan membeli rumah atau tanah, karena uangnya tidak mencukupi.
Cerita sedih juga dialami Bapak Purwanto. Warga Kedung Bendo ini bahkan belum mendapat ganti rugi sepeser pun. Bapak sebelas anak ini juga tidak tahu kenapa belum mendapat ganti rugi, padahal semua berkas yang diminta PT Minarak Lapindo Brantas sudah dipenuhi. Ia juga kebingungan, mau bertanya kemana. Bertanya ke perangkat desa yang menjadi penjembatani dibilang belum ada. Akibatnya hidupnya seolah digantung selama tiga tahun. Kehidupannya jadi tidak karuan, istrinya pun stress dan merasa minder dengan para tetangga. Sebelum musibah lumpur ia bekerja sebagai tukang. Dan kini semuanya sudah hancur, dan ia mempertahankan hidup dari belas kasihan saudara atau orang sekitar lokasi yang membutuhkan tenaganya sebagai tukang. Yang menguatkannya untuk terus bertahan dan berjuang adalah anak-anaknya. Ia mengatakan anak-anaknya butuh hidup dan butuh tempat dan itu harus ia perjuangkan. Dia tidak bisa bekerja keluar kota, karena takut kalau ada panggilan sewaktu-waktu untuk penyelesaian ganti rugi.
Lain lagi kisah Harwati. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ibu dua anak ini kini harus menjadi tukang ojek motor untuk menghidupi kedua anak dan orangtuanya. Semenjak suaminya, Muhtadi meninggal akibat stress karena memikirkan rumahnya yang terendam lumpur ia harus menjalani profesi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya yaitu menjadi tukang ojek motor. Motor yang dipakainya untuk mengojek adalah pinjaman dari orang tuanya. Dia sebenarnya sudah menerima ganti rugi 20%. Uang itu sudah habis untuk memperbaiki rumah orang tuanya, karena ia kasihan melihat orang tuanya yang mengeluh dan stres memikirkan rumahnya. Sekarang ini ia menunggu kepastian pembayaran ganti rugi yang tersisa.
Masalah yang diakibatkan musibah lumpur lapindo tidak hanya diderita oleh mereka yang rumah dan desanya tenggelam. Dampak lumpuk lapindo ini juga menimbulkan masalah warga disekitar yang harta bendanya turut terendam tapi tidak masuk dalam kategori yang harus mendapatkan ganti rugi. Sebut saja Pak Muhammad Irsyad. Ia mengatakan lumpur lapindo telah membuat sawahnya terendam dan gagal panen. Sekitar 30 hektar sawah petani di daerah Besuki rusak sampai sekarang. Dan, yang lebih menyakitkan bagi petani termasuk Muhamad Irsyad, sawah mereka yang rusak itu tidak mendapatkan ganti rugi karena berada di luar peta. Baik PT Minarak Lapindo Brantas dan pemerintah menolak memberikan ganti rugi. Menghadapi kenyataan demikian Pak Irsyad cuma bisa mengatakan bahwa hanya ketukan hati nurani lah yang bisa menjawab semuanya.
Sudah sepantasnya para korban lumpur lapindo itu segera mendapat uluran tangan. Mereka tidak hanya menderita kerugian material saja. Menurut sosiolog Thamrin Amal Tomagola yang turut diundang untuk berbicara pada acara tersebut, para korban lumpur lapindo ini juga menderita bathin akibat tercerabut dari akar keluarga karena tercerai berai dari kampung halamannya. Rumah tinggal bagi warga desa, bukan hanya seonggok benda yang bisa diperdagangkan. Bagi mereka rumah tinggal adalah warisan pusaka dari leluhur yang harus dijaga dan dilindungi.
Akankah tragedi lumpur lapindo ini menjadi sebuah sisi lain dari catatan perjalanan bangsa yang terabaikan? Sekali lagi hanya hati nurani dan kebesaran jiwalah yang mungkin bisa menjawabnya.
Source: Kick Andy
Discussion
No comments yet.