Dalam rangka mengenal dan menjelajah kekayaan negeri sendiri, kali ini saya berkesempatan berkunjung ke salah satu tempat yang sangat eksotik, fenomena, bahkan ditakuti bagi sebagian besar orang, yaitu Anak Gunung Krakatau. Bermula dari ajakan teman sesama backpacker, akhirnya saya bersama istri memutuskan untuk berangkat.
Perjalanan dimulai pada jumat malam, 16 Agustus 2013. Sesuai dengan pemberitahuan, titik bertemu adalah di Mall Slipi Jaya di daerah Slipi, Jakarta Barat. Karena lokasinya dekat dengan kantor, maka saya memutuskan untuk berangkat langsung selepas jam kerja. Packing kami lakukan pada malam sebelumnya. Ada bagusnya kami berdiskusi dan bertanya dengan koordinator keberangkatan sebelumnya tentang kondisi di lokasi, sehingga bisa menentukan barang apa saja yang akan dibawa. Diberitahu bahwa kondisi di lokasi sangat panas, sehingga kami memutuskan untuk membawa beberapa kaos tipis dan celana pendek, jas hujan untuk jaga-jaga, senter untuk tracking dipagi hari, sandal gunung, dan bekal makanan ringan serta air minum kemasan botol. Satu tas ransel cukup dan tentunya tak lupa kamera dan tripod. Kali ini sengaja saya hanya membawa lensa wide karena membaca round-down trip yang banyak nuansa landscapenya.
Lepas jam kerja, tepatnya selepas magrib, saya berangkat ke lokasi pertemuan. Karena dekat, saya memutuskan naik ojek sepeda motor. Tiba di lokasi sekitar pukul 19.00, belum begitu banyak terlihat gerombolan. Istri saya sendiri naik busway dari kantornya di bilangan MT Haryono Jakarta. Selang beberapa menit kemudian koordinator perjalanan tiba di lokasi. Dari dia saya ketahui bahwa yang ikut berangkat dalam rombongan kami ada 34 orang. Setengah jam kemudian, istri saya tiba. Berhubung akan menempuh perjalanan jauh kami putuskan untuk makan malam terlebih dahulu. Sampai dengan pukul delapan malam tinggal lima orang yang belum datang. Di samping kami ternyata ada kelompok lain yang juga melakukan titik pertemuan di mall tersebut. Saya menaksir bakal banyak juga yang akan berkunjung ke sana.
Sekitar pukul 21.30, begitu personil yang akan berangkat lengkap, kami pun mulai menunggu bus yang akan membawa kami ke pelabuhan Merak, Banten. Tidak gampang juga mencari bus yang kosong, Baru sekitar pukul 22.00 kami dapat bus, itupun harus terbagi menjadi dua bus dan harus berdiri. Tidak apa-apa, karena kami semua sadar bahwa kami berangkat dengan ala backpacker-an, maka semua dari kami enjoy-enjoy saja dengan kondisi yang ada. Termasuk ketika harus mengeluarkan ongkos bus sebesar Rp 25.000 yang ditarik oleh sang kenek, karena ongkos perjalanan memang baru ditanggung koordinator mulai dari untuk keperluan penyeberangan dari Pelabuhan Merak. Sekitar separoh perjalanan barulah saya dan beberapa teman yang tadinya berdiri bisa merasakan empuknya kursi bus.
Tiba di pelabuhan Merak sekitar pukul 24.00, disambut hujan gerimis. Ditunggu beberapa saat hujan bukannya berhenti malah semakin deras. Sambil menunggu teman-teman dari bus satunya, kami berteduh di pos polisi jaga. Di samping rombongan kami ada juga rombongan lain. Tidak hanya di dalam pos, di depan pos itu pun berkumpul beberapa kelompok dengan perlengkapan tempur masing-masing. Sekitar setengah jam menunggu, hujan pun redah, kami diberitahu bahwa rombongan teman-teman dari bus satunya sudah berkumpul dekat loket pembelian karcis. Kami pun menyusul ke sana. Pembelian karcis kapal untuk penyeberangan sudah dikoordinir. Sebagai info, untuk karcis penyeberangan ini, untuk dewasa dikenakan sebesar Rp 13.000, dan untuk anak-anak Rp 6.000 per kepala.
Setelah urusan pembelian karcis selesai, kami pun memasuki lajur keberangkatan menuju tempat tunggu untuk masuk kapal. Beruntung, kami tidak perlu menunggu terlalu lama, sekitar pukul 01.00 kami dipersilahkan masuk kapal. Meskipun yang disediakan adalah tiket untuk kelas ekonomi, begitu tiba di dalam kapal kami sepakat untuk masuk Kelas Bisnis. Konsekuensinya tentunya masing-masing orang harus membayar harga tambahan diluar yang ditanggung, untuk berada di kelas bisnis ini kami ditarik Rp 10.000 per kepala. Sekitar Pukul 01.30, kapal pun mulai bergerak meninggalkan Pelabuhan Merak, Banten menuju Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Di dalam ruangan ini kami bertemu kembali dengan rombongan lain yang sama-sama menunggu tadi. Karena capek tidak ada aktivitas yang dilakukan selama di kapal selain tidur….:-)
Sabtu, 17 Agustus 2013, sekitar pukul 03.45, kapal yang membawa kami tiba di Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Masih setengah mengantuk, kami keluar dari kapal mengikuti penumpang yang lain. Meskipun masih dalam suasana arus mudik sepenglihatan saya muatan kapal tidak terlalu penuh. Kami terus berjalan mengikuti koridor arah keluar menuju tempat angkutan kota yang akan membawa kami ke tempat tujuan beristirahat sementara, yaitu Desa Rawi. yang terletak di Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan. Setelah semua anggota lengkap, tentunya dengan bawaan perlengkapan masing-masing, maka tepat pukul 04.00 angkot yang akan menuju kami ke Desa Rawi berangkat. Karena masih pagi buta, tidak banyak cerita selama perjalanan menuju Desa Rawi selain ciri kas sopir sumatera yang membawa angkotnya dengan kencang. Bagi teman-teman yang tidak terbiasa keadaan ini cukup membuat tegang, namun ketegangan itu lenyap dibunuh rasa kantuk yang masih menyerang.
Setelah menempuh satu jam perjalanan, sekitar pukul 05.00 kami pun tiba di tempat persinggahan sementara di Desa Rawi. Jangan membayangkan sebuah penginapan mewah, berhubung kita pergi ala backpackeran, kami singgah di rumah penduduk yang sepertinya memang sudah terbiasa digunakan sebagai persinggahan rombongan yang akan melancong ke anak Krakatau. Tanpa banyak cerita, teman-teman yang masih kecapek-an dan masih menahan rasa ngantuk mengambil posisi masing-masing dan tidur di ruangan yang bisa ditiduri. Ditempat singgah sementara ini kami bertemu dengan “rider” (Bang Andi namanya) yang nanti akan mengawal kami selama berjelajah ke Anak Gunung Krakatau dan pulau-pulau sekitarnya.
Di tempat singgah sementara ini kami juga disediakan sarapan pagi, sholat shubuh, berganti pakaian, mandi bagi yang mau, sampai urusan buang hajat. Karena tempat yang kami singgahi merupakan rumah penduduk, ada cerita lucu untuk urusan buang hajat ini. Kebetulan kamar mandi-nya ada dua, dan kami harus menganteri untuk melakukan aktivitas di dalamnya. Kebetulan juga bak penampungan airnya menjadi satu dimana sekat bagian tengahnya terbuka, jika air baknya berkurang maka teman di kamar sebelah seharusnya bisa melihat bayangan teman disebelahnya. Alhasil kondisi ini membuat parno, apalagi misalnya ketika yang masuk bareng adalah antara teman cewek dan teman cowok. Bisa dibayangkan bagaimana konsentrasi yang dilakukan, disamping konsentrasi untuk mengeluarkan hajat yang terpendam juga konsentrasi menjaga agar teman sebelah tidak bisa melihat bayangan kita, caranya adalah dengan memainkan gayung di dalam bak sehingga airnya bergelombang, hahaha.
Sekitar dua jam kami singgah di Desa Rawi. Setelah merasa cukup, sekitar pukul 06.45 kami pun melanjutkan perjalanan menuju Dermaga Canti yang terletak di Desa Canti, Kalianda masih di daerah Lampung Selatan. Sebelum berangkat tentunya tak lupa kami berdo’a bersama meminta keselamatan selama perjalanan kami nantinya. Dermaga ini menjadi salah satu titik penghubung dari pulau Sumatera di Lampung Selatan menuju Pulau-pulau kecil sekitarnya.
Dari Dermaga Canti ini nantinya kami akan melakukan penyeberangan dengan Kapal Kayu menuju pulau pertama dari tujuan perjalanan kami, yaitu Pulau Sebuku Kecil. Sekitar Pukul 07.15 kami tiba di Dermaga Canti dan langsung menuju kapal kayu yang sudah disiapkan. Dan sekitar Pukul 07.30 kapal kayu yang kami tumpangi bergerak dari Dermaga Canti.
Pulau Sebuku
Dari Dermaga Canti kami menyeberang dengan menggunakan Kapal Kayu yang sudah disediakan menuju pulau pertama yang menjadi tujuan perjalanan kami, yaitu Pulau Sebuku Kecil. Pulau ini terletak di Selat Sunda, di sebelah selatan perairan Kabupaten Lampung Timur. Dari atas kapal kita bisa menyaksikan laut lepas dan beberapa gugusan pulau kecil. Suasana pagi, ombak masih bersahabat, sehingga tidak ada kekhawatiran selama perjalanan di kapal menuju pulau ini.
Setelah menempuh satu setengah jam perjalanan, sekitar pukul 08.45 kami pun tiba di Pulau Sebuku Kecil. Pulau ini terkenal dengan pasir putihnya yang bersih dan kondisi pulau yang landai, sehingga cocok untuk berenang atau sekedar bersantai. Kapal pun perlahan mulai merapat. Beruntung air tidak sedang pasang, sehingga hamparan pasir putihnya masih bisa terlihat.
Satu per satu kami turun dari kapal, karena kapal tidak bisa merapat penuh, kami pun terpaksa berbasah-basahan sampai lutut kaki. Hamparan pasir putih, jajaran kerang dan bebatuan kecil menyambut kami, sementara di bagian depan hijau dedaunan juga tidak kalah asrinya. Satu yang mengganjal ketika ke pulau ini, kita tidak menemukan toilet atau sejenisnya. Alhasil begitu hasrat tersebut muncul terpaksa kita harus menuju semak belukar di antara rimbunannya pepohonan….:-)
Begitu menjejakkan kaki di pulau ini, masing-masing dari kami pun mulai melakukan kegiatan masing-masing. Ada yang sekedar bermain air, mencari kerang, dan juga poto-poto. Saya sendiri langsung mengeluarkan kamera dan mengambil beberapa foto dari spot yang ada. Objek poto di pulau ini tidak terlalu banyak, tapi bagi yang jeli memanfaatkannya akan mendapatkan objek yang bagus.
Di samping pulaunya sendiri, objek yang bisa ditangkap di sini adalah perahu nelayan, pasir putih berikut ombak putihnya, sisa-sisa karang, bebatuan, dan juga pepohonan yang di beberapa sisi sangat menawan untuk di jepret. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di pulau ini, hanya sekitar 30-45 menit, khawatir air pasang. Karena begitu air pasang, maka hamparan pasir putih dan bebatuan di sisi terluar pulau akan digenangi air.
Setelah puas (jujur belum benar-benar puas), sekitar pukul 09.15 kami pun angkat kaki dari pulau yang asri ini naik kembali ke kapal untuk melanjutkan ke tujuan berikutnya yang sekaligus tempat kami menginap, yaitu Pulau Sebesi. Namun sebelum menuju Pulau Sebesi, kami akan singgah di lepas Pantai Pulau Sebuku untuk melakukan snorkeling. Jarak tempuh dari Pulau Sebku Kecil ke lokasi Snorkeling ditempuh sekitar seperempat perjalanan.
Berbeda halnya dengan waktu di Pulau Sebuku Kecil, di lokasi snorkeling ini kapal tidak merapat, alias berhenti di tepi pantai. Teman-teman yang akan melakukan snorkeling mulai mempersiapkan diri. Karena tujuan utama saya berkunjung ke sini adalah untuk mengambil foto, maka saya memutuskan untuk tidak ikut turun.
Teman-teman mulai turun satu per satu. Dari atas buritan kapal saya berdiri dan membidikkan kamera ke dalam air, sungguh kebesaran alam, kondisi air begitu bening, membuat pergerakan biota laut dibawahnya begitu jelas. Untuk mengurangi pantulan cahaya, saya memakai filter CPL, sehingga semakin memperjelas objek yang ada di dalam air.
Kami berada di lokasi snoorkeling ini sekitar empat puluh lima menit. Jika ingin mengikuti kata hati teman-teman sepertinya ingin berlama-lama bermain disini. Tapi Bang Andi sebagai rider kami kembali mengingatkan bahwa ada baiknya kami menyudahi kegiatan disini, mengingat masih ada tujuan lain yang akan kami tempuh hari ini. Sekitar pukul 10.00, teman-teman mulai naik ke kapal untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pulau Sebesi.
Pulau Sebesi
Pulau Sebesi merupakan salah satu pulau yang terletak paling dekat ke kawasan cagar alam Krakatau. Karena letaknya dekat dengan kawasan Krakatau menjadikan Pulau Sebesi menjadi salah satu tempat persinggahan (menginap) bagi pelancong yang akan menjelajah ke anak gunung Krakatau. Akses menuju Pulau ini tentunya adalah dari Dermaga Canti dengan jarak tempuh sekitar 1.5 sampai 2 jam perjalanan. Berhubung posisi kami berada di Pulau Sebuku, maka jarak yang akan kami tempuh menuju Pulau Sebesi tinggal sekitar separohnya.
Sepanjang perjalanan menuju Pulau Sebesi sekali lagi kita akan disugui panorama laut lepas dan beberapa pulau kecil lainnya. Suasana ini tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi yang senang memotret. Sesekali kita juga akan berlintasan dengan kapal kayu ataupun nelayan yang menggunakan perahu kecil. Sehingga pada kondisi laut yang bersahabat perjalanan yang kita tempu tidak terlalu membosankan.
Setelah sekitar satu jam perjalanan, sekitar pukul 11.00 kami pun tiba di Dermaga Pulau Sebesi. Menurut Bang Andi (rider yang mengawal kami), Pulau Sebesi adalah salah satu pulau yang cukup ramai penghuni-nya. Hal ini terlihat dari penampakan bangunan yang berdiri di bagian muka dermaga tersebut. Pulau ini di kenal juga dengan pulau perburuan, sehingga jangan heran jika di pulau ini kita bakal menemukan banyak anjing berkeliaran.
Suasana terik matahari menyambut kedatangan kami. kami pun turun dari kapal, membawa perlengkapan masing-masing, berjalan kaki menuju lokasi tempat kami menginap. Sekali lagi, tempat menginap yang disediakan adalah berupa rumah penduduk yang disulap menjadi penginapan. Ada dua rumah yang disediakan, tadinya dipisahkan untuk peserta cewek dan cowok. Namun karena lebih banyak peserta cowoknya, maka sebagian peserta cowok digabung dengan peserta cewek.
Karena berupa rumah penduduk, maka keterbatasan juga ditemui disini. Disamping tempat tidur ala kadarnya, juga kondisi kamar mandi. Untuk urusan mandi dan ke belakang lagi-lagi terpaksa kami harus mengantri, karena kamar mandi yang tersedia hanya satu. Di samping itu, karena berada di pulau terpencil, pasokan listrik juga menjadi kendala. Pasokan listrik di pulau ini masih menggunakan diesel. Listrik menyala mulai pukul lima sore sampai dengan sekitar pukul enam esok pagi-nya, sementara di siang hari praktis tidak ada aliran listrik. Jaringan pun juga sangat terbatas. Untuk mendapatkan sinyal handphone kita harus berjalan ke arah pantai terlebih dahulu, itupun untuk provider tertentu saja. Namun karena masing-masing kita sudah paham bahwa kita pergi ala backpacker, maka masing-masing kita cukup memaklumi kondisi tersebut.
Selesai dengan urusan tempat menginap dan tempat tidur, kami melakukan istirahat, sebab menurut jadwal sore hari nanti kami akan berkunjung ke Pulau Umang-Umang. Teman-teman yang habis snorkeling satu per satu antri di pintu kamar mandi. Lengketnya air laut tentu lumayan mengganggu. Karena tidak turun tadi di pantai, saya tidak ikut mengantri, dan karena waktu makan siang sudah tiba, saya memutuskan untuk menuju tempat lokasi makan yang memang sudah disediakan. Perlengkapan kamera tak lupa saya bawa serta.
Untuk makan, sekali lagi semuanya sudah diurus oleh koordinator. Makanan disediakan secara prasmanan dengan melibatkan penduduk setempat. Sudah lama saya tidak merasakan suasana makan prasmanan di alam terbuka kayak gini, menu nasi dengan lauk ikan asin, telor dadar dan ditambah dengan kerupuk secukupnya lebih dari cukup menenangkan cacing-cacing yang sejak dari pelabuhan canti tadi sudah berteriak minta asupan…:-)
Selesai makan, sebagian teman-teman kembali ke penginapan untuk istirahat. Namun saya mengambil langkah berbeda, bersama istri saya menelusuri tepi pantai Pulau yang masih sangat asli ini. Sekali lagi saya berkunjung ke sini ingin menikmati dan mengeksplor suasana yang ada, maka sangat sayang kalau sudah sampai di lokasi ini hanya untuk tidur siang.
Karena keterbatasan waktu kami memutuskan berjalan hanya pada satu sisi tepi pantai saja. Pasir putih, serpihan karang, bebatuan tepi pantai, deburan ombak halus, dan juga pergerakan binatang laut yang ada di tepi pantai sangat menarik untuk menjadi objek poto, disamping tentunya nuansa lanscape yang terbentang luas dihadapan.
Saya tidak menyia-nyiakan waktu, tombol shutter terus saya penjet untuk menangkap beragam objek yang ada. Keasyikan saya mengambil foto terhenti, manakala terdengar seruan koordinator kami bahwa sebentar lagi kami akan masuk kapal untuk berkunjung ke pulau berikutnya, Pulau Umang-Umang. Wow, tidak terasa, ternyata saya jeprat jepret di sini sudah satu jam lebih, untung koordinator nya baik mendatangi saya, kalau tidak bisa-bisa ditinggal rombongan, hahaha.
Pulau Umang-Umang
Sekitar Pukul 15.30, kapal yang membawa kami berangkat dari dermaga Pulau Sebesi menuju Pulau Umang-Umang. PPulau Umang-Umang berada dalam satu kawasan wilayah Taman Nasional Krakatau di provinsi Lampung. Tepatnya di kabupaten Lampung Selatan. Sebuah kawasan taman nasional yang terletak di selat Sunda. Lokasinya sangat dekat dengan Pulau Sebesi. Karena luasannya yang sedemikain kecil, tidak ada satu pun yang menetap, sehingga pulau ini dikategorikan sebagai pulau tak berpenghuni.
Perjalanan menuju pulai ini ditempuh sekitar lima belas menit. Meskipun luasnya terbilang kecil, namun pesonanya sangat menawan. Hamparan pasir putih, serpihan karang, bebatuan besar yang mengelilingi sungguh menjadi daya tarik tersendiri. Pulau ini juga sering dijadikan salah satu tempat bersnorkeling. Namun tujuan utama kami disini tidak untuk bersnorkeling, tapi memang untuk mengekplor kondisinya, sambil tentunya menunggu sunset.
Tiba di pulau ini sebenarnya kami tidak begitu beruntung, mengingat air sudah pasang, sehingga kapal tidak bisa merapat ke tepi pantai, dan air pun menyisir sampai ke pepohonan bakau. Salah satu jalan untuk menyeberang dalam kondisi itu adalah turun ke air, dan tentunya kami harus basah-basahan. Pertama kali lagi melihat Bang Andy (sang Rider). Wow, ternyata kami harus melalui air yang ketinggiannya sampai sepinggang lebih. Ini tentunya masalah, khususnya bagi kami yang membawa peralatan kamera dan memang tidak siap dengan basah-basahan.
Namun sudah terlanjur datang ke sana, rasanya rugi kalau menyia-nyiakan begitu saja. Beberapa teman akhirnya nyebur dan sekalian berenang. Nah, tinggal kelompok kami yang tidak siap untuk basah-basahan. Kalau saya sendiri yang terpikir bukan masalah basah-basahannya, tapi bagaimana cara menyeberangkan kamera sampai ke tepi pantai. Akhirnya Bang Andy dan salah seorang awak kapal menawarkan diri untuk menyeberangkan kami dengan menggotong dipundak mereka. Tawaran ini langsung disambut baik, khususnya oleh teman-teman cewek, termasuk istri saya.
Saya dan satu teman lagi tarik ulur, dan akhirnya memutuskan untuk nyebur. Adapun peralatan kamera kami titipkan ke Bang Andy yang menyiapkan satu box khusus untuk mengangkut barang-barang kami. Akhirnya dengan bantuan Bang Andy dan rekan-rekan semua dari kami berhasil juga menyeberang tanpa dan dengan basah-basahan.
Kami mulai mengekplor pulau ini, saking kecilnya, jika hanya sekedar berkeliling, cukup dengan waktu lima sampai sepuluh menit kita sudah bisa mengelilingi seluruh sisi pulau nya. Tapi tentunya sangat sayang jika kita hanya berkeliling saja. Bagi yang membawa kamera batasan waktu jadi ndak terasa. Begitu banyak objek yang bisa ditangkap, mulai dari nuansa lanscapenya, macro bagi yang jeli, sampai dengan human interest.
Karena suasananya yang memang sangat mempesona, tidak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Ini artinya kami harus undur diri dari pulau yang disebut-sebut sebagai miniatur dari Pulau Belitong. Tujuan kami selanjutnya adalah menangkap sunset yang sebentar lagi akan turun. Kami pun kembali masuk ke kapal dengan kondisi seperti saat menyeberang tadi. Lama-lama kasian juga melihat rider kami menggotong beberapa teman yang dari awal tadi sudah konsisten untuk tidak basah.
Begitu semua dari kami naik, kapal pun bergerak menuju lautan lepas. Sekian menit berjalan, kami mulai mengawasi pergerakan di langit. Tanda-tanda akan munculnya sunset sudah terlihat, kami yang membawa kamera pun sudah bersiap diri. Namun sayang, mendung menghalangi pandangan. Kami mulai khawatir dan cemas jika ternyata sunset tidak akn muncul dan terlewatkan begitu saja. Kecemasan kami ini juga terbaca oleh juru mudi kapal. Saking penasaran, juru mudi kapal mencoba memutari sekali lagi lokasi akan munculnya sunset tadi, walhasil kapal kami berputar kembali. Tapi kekhawatiran dan kecemasan kami terjawab sudah, mendung memang mengalahkan semuanya. Merasa putus asa, kami pun voting dan berkeputusan untuk kembali ke penginapan. Tepat pukul enam sore kapal yang membawa kami merapat kembali di dermaga Pulau Sebesi.
Masing-masing kami mulai mempersiapkan diri untuk istirahat malam. Untuk makan malam kembali sudah disiapkan secara prasmanan. Kami pun secara bergantian ada yang mandi dan ada yang mulai makan. Malam itu sebenarnya masih ada satu acara lagi, yaitu bakar ikan. Habis makan, saya pun mandi, dan sambil menunggu acara bakar ikan, saya rebahan di karpet. Mungkin karena capek, akhirnya saya malah tertidur benaran. Sekitar pukul sepuluh malam, sepertinya saat ikannya sudah matang, saya dibangunkan. Namun karena kantuk sudah menyerang bukannya bangun malah melanjutkan tidur, hahahaha. Ndak apa-apalah, soalnya besok dinihari kami harus sudah bangun untuk berkunjung ke tempat utama dari perjalanan kami, yaitu Anak Gunung Krakatau.
Anak Gunung Krakatau
Sekitar pukul 02.30 dinihari di tanggal 18 Agustus 2013, tidur nyenyak saya diusik bunyi alarm ayam tepat di telinga kanan saya. Rupanya teman disebelah sengaja memasang alarm supaya tidak kesiangan. Ya, pagi dinihari ini kami akan berangkat menuju lokasi anak gunung krakatau. Meskipun sudah dijadwalkan maksimal pukul 03.00 kami sudah berangkat, namun insiden tetap saja terjadi.
Ditengah kesibukan kami mempersiapkan diri masing-masing, seorang teman menyampaikan bahwa salah seorang teman kami tidak berada di penginapan sejak tadi malam. Herdian, ya itulah nama teman kami yang tidak kelihatan tidur di penginapan. Pukul 03.00 sebenarnya kami sudah siap semua di kapal, kecuali dia. Karena merasa bertanggung jawab terhadap rombongan, koordinator perjalanan kami akhirnya memutuskan untuk mencari.
Info terakhir, setelah acara makan ikan bakar, beberapa teman termasuk Herdian jalan keluar menuju warung di tepi pantai. Di Warung ini memang tersedia panganan dan minuman penghantar malam. Niat mereka adalah membeli rokok dan sekedar ngopi. Setelah selesai mereka jalan pulang menuju penginapan. Namun entah kenapa Herdian bilang akan kembali lagi ke warung tersebut, sementara yang lainnya tetapjalan menuju penginapan. Setelah itu Herdian ndak terlihat kembali dan tidur di penginapan.
Selang tiga puluh menit kemudian, koordinator perjalanan kami muncul di dermaga, dan……..beserta Herdian. Wow, lega rasanya kami semua, ternyata teman kami tidak jadi hilang, hahaha. Setelah masuk kapal kami pun bertanya ke Herdian kemana dia tadi malam sampai dinihari. Rupanya dia tidur atau ketiduran di warung bersama dengan pengunjung dari kelompok lain. Dia bilang sudah kirim berita di WhatApp group, tapi baru kemudian setelah cerita begitu dia nyadar sendiri bahwa di pulau itu sinyal bermasalah. Hmmm…. pengalaman berharga akhirnya bisa dipetik dari peristiwa ini, jangan sekali kali berpisah dari rombongan di pulau yang kita baru pertama kali berkunjung.
Pukul 03.30 kapal bergerak meninggalkan dermaga Pulau Sebesi menuju Anak Gunung Krakatau. Karena masih pagi buta, sebagian besar dari kami melanjutkan tidur, beberapa naik ke atap kapal karena koordinator kegiatan berencana menyalakan kembang api di laut lepas. Selang sepuluh menit perjalanan bunyi letusan kembang api terdengar. Angin laut mengundurkan niat saya untuk bergabung ke atas kapal. Akhirnya saya memilih bergabung dengan teman-teman yang tidur. Namun sial, tiba-tiba mulai menyerang. Sejak pertama kali pengalaman pergi dengn kapal laut, belum pernah saya merasa mabuk laut seperti begini. Atau mungkin juga karena asap dari mesin kapal yang memang mengarah pada posisi tempat kami tidur. Rasanya sangat pusing dan mulai berpengaruh ke bagian perut.
Dalam kondisi begini agak bingung juga, mau dipaksakan muntah atau ditahan. Terus terang saya masih terngiang-ngiang petuah orang-orang tua di kampung saya dulu bahwa jangan pernah muntah di laut, mereka bilang itu sama saja kita menghina laut. Biarpun pembuktian akibat dari itu belum pernah saya dengar, namun yang namanya petuah orang-orang tua tetap saja terngiang-ngiang. Akhirnya daripada muntah saya juga berubah posisi tempat tidur ke bagian lain kapal, rebahan dan mencoba memejamkan mata sambil konsentrasi menghilangkan muai diperut.
Entah apa yang terjadi berikutnya, yang pasti saya terbangun karena menyaksikan langit mulai terang. Hmmm, rupanya saya tadi tertidur…hahahaha. Masih setengah sadar, saya liat sebuah pulau dengan langit masih merah. Bergegas saya keluarkan kamera dan mulai membidik. Pergerakan langit begitu cepat sampai akhirnya benar-benar terang. Di depan arah kapalkami terdapat satu pulau lagi dengan gundukan polos di tengahnya. Belakangan baru saya tahu bahwa nama pulau yang saya poto dari tadi adalah Pulau Sertung, dan Pulau yang saya maksud di depan kami itulah ternyata Anak Gunung Krakatau. Sementara ketika saya menoleh ke kiri terdapat pulau yang wujudnya memanjang, dari awak kapal saya tahu bahwa nama pulau itu adalah Pulau Panjang. Dikejauhan, tepatnya dibalik Pulau Panjang dari posisi kapal kami saya liat ada satu pulau lagi yang menyerupai gunung, itulah yang oleh awak kapal disebut sebagai Pulau Rakata.
Kapal yang membawa kami mulai bergerak pelan, artinya kami mulai merapat. Waktu menunjukkan pukul 06.30, berarti jarak tempuh dari dermaga Pulau Sebesi adalah sekitar 3 jam. Setelah kapal benar-benar bersandar,satu kami turun. Begitu tiba di pasir pinggiran pantai saya segera mengeluarkan kamera, mumpung nuansa sunrise maish terasa. Dan bersyukur saya masih bisa mendapatkan itu.
Puas dengan nuansa sunrise, saya bergabung dengan rombongan. Beberapa dari kami ternyata sudah ada yang jalan. Perjalanan menuju areal puncak anak krakatau ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan. Lepas dari nuansa tepi pantai kita akan menelusuri jalan setapak yang penuh dengan pepohonan, lalu mulai terasa jalan agak menanjak dan pepohonan semakin jarang.
Kendala mulai terasa dari sini, meskipun cukup landai, namun material pasir gunung yang menutupi jalan cukup mengganggu membuat langkah kaki terasa berat. Kami terus berjalan mengikuti petunjuk arah yang sengaja dipasang untuk memandu pelancong supaya tidak mengambil jalan lain.
Dari kejauahan sudah tampak terlihat puncak Anak Gunung Krakatau. Semakin mendekati lereng gunung medan yang dilalui semakin sulit, dan kami pun tiba di lereng gunung.Saya berhenti sejenak memperhatikan pemandangan yang berada di depan saya. Gersang, tanpa dikelilingi pepohonan hijau, dan jalan menanjak dengan material pasir dan batu gunung, itulah gambaran pemandangan di sekitar lereng gunung anak krakatau.
Saya mulai menyusul yang lain berusaha mengikuti alur jalan yang sudah ada. Lumayan berat, pasir gunung dan krikil-krikil kecil mulai masuk disela-sela sendal gunung yang saya pakai, lumayan mengganggu. Sesekali berhenti, mencari view untuk memotret, lalu lanjut jalan kembali. Dan hasilnya…saya jauh tertinggal dari yang lain..:-)
Dari lereng gunung ini saya menoleh ke belakang. Kondisinya sangatlah kontras, dihadapan saya hamparan pepohonan hijau (yang tadi saya lalui), kemudian laut lepas, dan Pulau Panjang yang terlihat secara keseluruhan. Semakin tinggi posisi saya maka semakin kecil Pulau Panjang yang saya lihat.
Begitu pula ketika saya menoleh ke kiri, Pulau Rakata yang ketika di atas kapal tadi terhalang oleh Pulau Panjang, sekarang terlihat sangat jelas dan utuh. Pulau ini menyerupai sebuah gunung, namun seperti tergerus di bagian depannya. Dibandingkan dua pulau lainnya yang mengelilingi Anak Gunung Krakatau, Pulau Rakata memiliki bentuk yang lebih tinggi. Dari tempat saya berpijak saya melihat bayangan tubuh saya begitu jelasnya, dari sini muncul ide iseng untuk memotret bayangan saya tersebut, dan hasilnya lumayanlah, seperti ada penampakan di kaki lereng anak krakatau, hahaha.
Saya melanjutkan perjalanan mendaki, karena tinggal saya sendiri yang belum sampai pada lokasi dimana sebagai titik terakhir pelancong diijinkan mendaki. Dengan susah payah melawan pasir dan krikil gunung, setelah satu jam berjalan akhirnya saya tiba di tempat berkumpul. Ditempat kami berkumpul ada tiang bendera lengkap dengan Bendera Merah Putih. Dari Bang Andy kami mengetahui bahwa bendera itu di pasang oleh rombongan yang datang satu hari sebelumnya, karena memang kami hadir masih dalam suasana memperingati hari kemerdekaan.
Saya mencoba melihat lereng utama dari Anak Gunung Krakatau. Subhanallah, ternyata sangat jelas terlihat jika gunung ini masih aktif dan masih terus bertambah ketinggiannya. Jika boleh saya menggambarkan, dari lokasi tempat kami berdiri dengan letak Anak Gunung Krakatau dibatasi lekukan seperti parit yang mengelilingi Anak Gunung Krakatau, dan Anak Gunung Krakatau itu sendiri seolah muncul dari tengah-tengahnya. Disini saya hanya ingin membuktikan dari cerita dan tulisan yang saya baca bahwa Anak Gunung Krakatau ini ketinggiannya terus bertambah setiap tahun, dan dengan melihat kondisi nyatanya saya yakin cerita dan tulisan-tulisan tersebut benar adanya. Ini juga dikuatkan dari penjelasan rider penunggu lokasi Anak Gunung Krakatau itu sendiri.
Kami pun menikmati suasana. Ada yang hanya duduk diam, ada juga yang mencari material gunung yang mungkin bisa dibawa pulang (hahahaha) dan utamanya pasti banyak yang berfoto dengan latar belakang Anak Gunung Krakatau. Satu hal yang tak luput dari pandangan saya, yaitu keberadaan Bendera Merah Putih yang berada dekat puncak gunung dan sangat amat terlihat bahwa titik tersebut masih aktif. Hal ini terlihat dari kepulan asap belereng yang keluar. Dari Bang Andy menjelaskan bahwa rider yang menunggu anak gung itu sendiri pun tidak mengetahui kapan para pendaki nekad naik dan menancapkan tiang bendera tersebut, mengingat lokasi tersebut sangat terlarang bagi para pendaki. Mengingat lokasinya yang berbahaya dan penuh dengan gas gunung (yang beracun) maka rider penunggu gunung pun tidak berani menurunkan bendera yang sudah tertancap tersebut. Hmmm, cuma satu kata buat para pendaki yang berhasil menancapkan bendera tersebut…..gila!!! hahahaha.
Sekitar lima belas menit berada di lokasi, Bang Andy rider kami mulai meminta kami untuk turun. Permintaan atau tepatnya peringatan ini cukup beralasan, kami merasakan angin mulai bertiup kencang, kondisi ini sangat berbahaya bagi pelancong, dikhawatirkan uap gas yang keluar dari gunung akan terhirup oleh kami. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan, kami pun mengikuti peringatan Bang Andy tersebut.
Perjalanan turun tidak kalah sulitnya dengan perjalanan waktu mendaki tadi. Kalau tadi kita harus berjuang menyisihkan pasir dan krikil yang masuk ke sela-sela sendal atau sepatu kita, sekarang perjuangan kita bertambah yaitu menjaga langkah supaya tidak tergelincir atau merosot. Namun karena sudah tahu medan, perjalanan turun ini jadi lebih cepat. Sampai dibawa kami beristirahat sambil makan pagi ke siang (berupa nasi bungkus) yang sudah disediakan. Sekitar satu jam istirahat kami pun mulai naik ke kapal untuk melanjutkan berkunjung ke tepian Pulau Rakata.
Pukul 09.00 kapal yang mengangkut kami mulai meninggalkan lokasi Anak Gunung Krakatau. Berasa masih tidak percaya jika ternyata saya baru saja menjelajah di titik terdekat dari lokasi Gunung yang masih aktif ini. Kapal mulai menjauh. Wujud Anak Gunung Krakatau semakin terlihat jelas dari sisi yang berbeda, semakin jauh semakin jelas. Begitu juga Pulau Sertung yang tadi hanya terlihat sedikit, sekarang lumayan jelas.
Kapal semakin menjauh dari lokasi Anak Gunung dan mendekat ke lokasi tepian Pulau Rakata. Tujuan kami adalah untuk snorkeling. Sesekali kami berlintasan dengan kapal lain yang membawa rombongan lain dengan tujuan yang sama. Sekitar satu jam perjalanan, kapal yang membawa pun bertambat. Di lokasi sudah ada kapal dari rombongan lain yang tiba lebih dahulu. Teman-teman yang akan melakukan snorkeling mulai mempersiapkan diri dan satu per satu terjun ke air.
Seperti sebelumnya, jika yang lain sibuk dengan peralatan snorkelingnya, saya sendiri sibuk mempersiapkan kamera saya. Pemandangan biota laut di lokasi ini lebih menakjubkan lagi, didukung oleh air yang sangat jernih. Saya mulai memotret dari atas buritan kapal, untuk mengurangi pantulan cahaya, tak lupa filter CPL saya pasang ke lensa, dan sekali lagi hasil foto yang saya dapat cukup memuaskan.
Lumayan lama juga kami berada disini, ya…sekitar satu jam lebih. Karena cuaca semakin terik dan juga khawatir ombak laut makin tinggi rider kami meminta untuk kami menyudahi aktivitas snorkeling di tepian Pulau Rakata. Satu per satu dari teman-teman naik ke kapal dan tepat pukul 11.20 kami pun meninggalkan lokasi.
Sepanjang perjalanan pulang, sejauh mata memandang adalah laut lepas. Tapi kemudian pemandangan tiga pulau yang mengelilingi lokasi anak gunung Krakatau menggelitik saya. Ketika berada di Lokasi Anak Gunung Krakatau tadi, saya sempat membaca tulisan yang menceritakan tentang letusan gunung krakatau sampai aktivitas munculnya Anak Gunung Krakatau sampai sekarang. Untuk menambah rasa penasaran saya, saya coba menambah sumber wawasan terkait dengan terbentuknya Anak Gunung Krakatau ini, tentunya melalui searching di mas google…:-)
Krakatau adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatera. Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Tsunami ini dinilai sebagai yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 km. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York. Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa ketika populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang. Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut.
Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan: Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera. Beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung- jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia Purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazda di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata). Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.
Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883. Ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.
Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia, dan Selandia Baru. Letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan, serta sebagian Gunung Rakata dimana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Gelombang laut naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.
Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak (Serang) hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.
Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 7.500 inci atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu.
Sambil mengambil foto, sepanjang perjalanan saya mencoba membayangkan seberapa besar Gunung Krakatau itu sebenarnya. Bagi pemikiran awam saya, saya coba menghubungkan tiga sisi dari tiga pulau yang mengelilingi lokasi ANak Gunung Krakatau (dimana kondisinya memang berwujud segitiga). Saya coba menghubungkan ujung sisi terjauh Pulau Rakata (di sisi kiri), kemudian ujung sisi terjauh Pulau Panjang ( disisi kanan), dan ujung sisi terjauh Pulau Sertung (dibagian tengah), itulah sementara ini yang saya bayangkan sebagai luasan Gunung Krakatau masa lalu. Dan jika pemikiran saya itu benar dengan melihat kondisi nyatanya sekarang, saya cuma bisa berkata… WOW….! sedemikian besarnya Gunung Krakatau tersebut.
Dan saya membayangkan lagi, jika nantinya Anak Gunung Krakatau ini tingginya mencapai bahkan melebihi Ibunya atau nenek moyangnya, terus meletus kembali, hmmm….bayangan saya cukup sampai disitu saja, ndak berani lebih jauh lagi….ngeri sendiri. Cerita andai-andai saya ini akhirnya terputus manakala tiga pulau dan anak gunung krakatau sendiri hilang dari pandangan saya, berubah laut lepas dan pemandangan Pulau Sebesi yang ada di hadapan kami.
Sekitar pukul 13.00 kapal yang membawa kami merapat kembali di dermaga Pulau Sebesi. Kami kembali ke penginapan untuk makan siang dan packing, karena siang itu juga kami akan undur dari pulau tersebut. Tidak hanya kelompok kami rupanya yang akan undur, sepertinya kelompok lain yang datang ke pulau tersebut akan undur siang itu juga.
Setelah semuanya beres kami pun berpamitan dengan pemilik penginapan dan berjalan menuju kapal. Sekitar pukul 15.30 kapal kami mulai meninggalkan dermaga Pulau Sebesi menuju Dermaga Canti. Mengingat perjalanan ini akan memakan waktu lumayan lama, maka sepanjang perjalananan sebagian besar dari rombongan memutuskan untuk tiduran, ada juga yang duduk terdiam memandangi lautan lepas. Saya pun demikian, lebih banyak diam sambil tetap memperhatikan objek-objek yang masih bias difoto. Pada perjalanan ini kami sengaja memutuskan untuk tidak singgah lagi, khawatir kondisi ombak yang semakin sore semakin tinggi.
Beberapa pulau yang sudah kami datangi satu per satu terlewati oleh kapal yang mengangkut kami. Dan yang kami khawatirkan mulai terasa, kondisi ombak ditengah perjalanan mulai tinggi. Namun kami tetap percaya pada awak kapal, meskipun tetap khawatir dengan kondisi kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan di terjang ombak. Karena tidak singgah lagi perjalanan pulang tersebut terasa sangat lama dan menjemukan. Beruntung beberapa objek masih bisa tertangkap kamera saya.
Setelah melalui lautan lepas hampir tiga jam, sekitar pukul 17.15, kami pun merapat di Dermaga Canti. Karena sudah sore dan mengingat perjalanan masih panjang, begitu turun kapal kami pun langsung menuju angkutan kota yang sudah menunggu untuk membawa kami menuju Pelabuhan Bakeheuni. Begitu penuh sang sopir langsung tancap gas.
Perjalanan dengan angkutan kota ini terasa menengangkan. Sopir angkot yang membawa kami memacu kendaraan dengan kencang, beberapa kali kami harus terpontang panting dalam angkot akibat si sopir mengerem mendadak. Tapi kami cukup maklum, karena kami memang harus mengejar jadwal kapal yang akan menyeberangkan kami menuju Merak. Untungnya alunan lagu dang dut, rock, pop, jazz lumayan membuat suasana urat leher jadi kendor dikit.
Meskipun mengejar waktu, urusan oleh-oleh tidak boleh terlupakan. Sekitar satu jam perjalanan sopir yang membawa kami menepi, rupanya disitulah pusat jajanan atau oleh-oleh khas lampung, pusat oleh oleh khas Lampung BMW namanya, terletak di jalan lintas sumatera. Oleh-oleh khas yang tersedia disini utamanya adalah keripik pisang beraneka rasa, disamping juga aneka kerupuk, kemplang, dan lainnya.
Sambil menunggu teman-teman berbelanja selalu ada objek menarik untuk difoto, begitu juga ditempat ini. Disamping pedagang dan pembelinya sendiri, keberadaan penduduk local juga menarik untuk difoto. Saya tertarik dengan seorang bocah yang dari tadi menggoda saya saat mengambil foto, dan yang asyiknya begitu lensa kamera saya bidikkan ke dia, si bocah malah berpose lucu, baru saya tahu rupanya dari tadi dia menggoda tersebut sengaja untuk minta difoto..hahaha.
Puas dengan tentengan oleh-oleh kami pun melanjutkan perjalanan. Ndak banyak cerita selama diperjalanan selain suara music beraneka aliran, candaan sang abang sopir, tereakan teman sebelah karena terpontang panting dan urat leher yang tegang menahan awas akibat sang sopir memacu angkot tuanya dengan kenceng. Tepat pukul 18.30 kami pun tiba di pelabuhan Bakeheuni. Saking tegangnya turun dari angkot yang terpikirkan oleh saya pertama sekali adalah mencari toilet, hihihi.
Urusan dengan kamar kecil alias toilet selesai, kami pun mencari tempat dekat loket pembelian tiket sambil menunggu rombongan lainnya tiba. Rupanya angkot kami adalah yang pertama tiba di lokasi. Cemal cemil lirak lirik sana sini kali aja ada objek yang bagus…ndak nemu, akhirnya duduk selonjoran. Baru aja ini pantat nyentuh lantai rombongan lainnya tiba dengan cerita yang sama dengan kami, sopir angkotnya dahsyat-dahsyat, hahaha.
Sekitar pukul 19.00 malam kami mulai antri di loket masuk menuju kapal. Syukurlah, kami tidak perlu menunggu lama, kapal yang akan menyeberangkan kami ke Merak sudah merapat. Kami menunggu penumpang turun dulu, baru sekitar pukul 19.30 kami dipersilahkan naik ke kapal. Seperti waktu pergi, tanpa dikomandoi supaya nyaman kami semua menuju kelas bisnis, maklum perjalanan menuju Merak lumayan lama dan kami butuh istirahat, mengingat besok pagi harus masuk kantor. Berselang setengah jam kemudian, tepatnya sekitar Pukul 20.00 kapal pun undur dari Pelabuhan Bakeheuni Lampung. Saya keluar sebentar dari kelas bisnis mencoba mengabadikan pinggiran pelabuhan Bakeheuni di malam hari. Saat saat seperti ini saya ingat suasana kalau lagi mudik ke kampung halaman di Palembang.
Sadar suasana pelabuhan sudah berganti pemandangan gelapnya laut lepas, saya kembali masuk ke ruangan Kelas Bisnis. Entah karena penumpangnya yang sesak atau karena memang pendingin di ruangan tersebut lagi bermasalah, yang pasti kami merasa gerah. Untuk mengganjal perut saya putuskan memesan pop mie pada petugas kapal yang memang dari mulai kami masuk tadi mondar mandir. Tak berapa lama kemudian petugas kapal datang memberikan karcis, Berbeda dengan waktu pergi, untuk sekarang kami dikenakan lima ribu rupiah per kepala. Hmm… mungkinbeda kapal beda tarif. Biarkan saja, yang penting sekarang bagaimana menikmati perjalanan dengan tenang ditengah pendingin ruangan yang bermasalah.
Sekitar dua setengah jam perjalanan, kami dikejutkan oleh suara anak buah kapal yang memberikan pengumuman bahwa sebentar lagi kapal akan tiba di Pelabuhan Merak, Banten. Syukurlah, antara sadar dan tidak rupanya tadi saya sempat tertidur juga, hahaha. Kami bersiap diri mengecek tas bawasan jangan sampai ada yang tertinggal. Sembari menunggu kapal merapat, dan karena tidak tahan dengan panasnya ruangan, kami pun keluar, dan benar saja di hadapan kami sudah terlihat Pelabuhan Merak.
Sekitar pukul 00.30 kapal sudah benar-benar merapat dan kami dipersilahkan turun. Disini kami berbaur dengan penumpang lain, baru saya perhatikan meskipun masih dalam suasana arus balik, namun penumpang kapal tidak terlalu ramai. Kami terus berjalan menyusuri koridor menuju pelataran bus. Tiba disana, kami pun berpamitan satu sama lain sesuai dengan tujuan bus masing-masing. Saya dan beberapa teman menuju bus yang tujuannya ke terminal kampung rambutan. Karena lelah dan ngantuk, begitu masuk bus masing-masing dari kami tidak banyak cerita lagi selain tidur. Perjalanan dua hari yang mengesankan dalam mengenal kekayaan negeri sendiri. Dan kemana tujuan perjalanan selanjutnya??? Kita lihat saja nanti…:-)
Wuih, ini keren. Udh daftar ikut open trip sama rumah trip, tapi satu dan lain hal mereka jadwalnya ganti” jadi belom ketemu tanggal yang pas. Semoga segera terwujud nih perjalanan ke sini dan bisa sharing cerita juga. Btw mas, kalo lagi jalan” pengen poto selfie cobain aplikasi Fotoku
mbak Oni….. mudah2an terwujud..didoain deeeh…supaya aku jg dpt cerita terkininya…hehehe…. waaah aku jarang difoto or memotokan diri sendiri Oniiiiiii…… makanya lebih suka moto…hahahaha
Amiiin, semoga open tripnya segera memenuhi kuota, jadi bisa ceritain.