Traveling

Tradisi Kirab Pusaka dan Berkah Kyai Slamet pada Malam Satu Suro

Ini adalah oleh-oleh hasil lawatan empat hari di Solo. Ceritanya pada pertengahan bulan desember dua ribu sembilan lalu, tepatnya mulai tanggal tujuh belas, perusahaan tempat saya bekerja mengadakan rapat kerja (raker) di Kota Solo, Jawa Tengah. Mengapa diambil lokasi Kota Solo? dengar punya dengar kota ini dinobatkan sebagai kota destinasi wisata terbaik versi “Indonesian Tourism Award (ITA) Tahun 2009”. Wah, selamat buat warga Solo!! Tujuan lainnya adalah untuk memberikan suasana rileks bagi para karyawan yang setiap harinya disuguhi dengan deadline pekerjaan.

Beberapa tempat tujuan wisata seni dan budaya Kota Solo yang eksentrik untuk dikunjungi diantaranya adalah Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pura Kadipaten Mangkunegaran, Baluwarti, Kampung Batik Laweyan, Pasar Antik Triwindhu, Museum Radyapustaka, Musium Batik Kuno Danarhadi, City Walk Tempat Srawung Warga Solo, Balekambang, Kampung Batik Kauman, Pasar Klewer, Sepur Kluthuk Jaladara, dan Kirab Pusaka 1 Suro.

Disamping memiliki beberapa tempat wisata Kota Solo juga patut menjadi tujuan wisata kuliner, mengingat kota ini memiliki berbagai menu makanan yang khas. Berbagai makanan khas Solo ini diantaranya adalah Nasi Liwet, Jenang/Bubur Lemu, Timlo Solo, Sate Buntel, Pecel n’deso, Tengkleng, Sate Kere, Gudeg Ceker, Tahu Kupat, Bakmi Toprak, Sambel Tumpang,Gule Goreng, Wedangan, Sosis Solo, Mandarin dan Roti Semir Orion, Intip, Abon Sapi dan Ayam Varia, Roti Kecik Ganep, Dawet Telasih,Gempol Plered, Lento, Jahe Gepuk, Selat Solo, Wedang Ronde, Bestik Solo, Soto Kwali, Brambang Asem, Cabuk Rambak, Kue Moho, Sate Landak, dan juga Sate Kelinci.

Kebetulan, kunjungan kerja kita ke Solo kali ini bertepatan dengan perayaan malam tahun baru islam, atau lebih dikenal dengan perayaan malam satu suro. Artinya, secara langsung kita bisa menyaksikan tradisi prosesi kirab pusaka sebagaimana yang sudah disebutkan diatas. Dan kebetulan lagi, panitia raker juga mencantumkan rekreasi menyaksikan kirab pusaka ini dalam agenda acara.

Kita bergerak dari hotel tempat menginap di bilangan Slamet Riyadi sekitar pukul sepuluh malam. Sebagaimana petunjuk, langkah kita tujukan ke arah gerbang Keraton Surakarta, dimana barisan kirab pertama kali akan lewat. Kemacetan mulai terasa mulai dari depan hotel. Sungguh luar biasa antusias warga Solo untuk menyaksikan kirab ini, bahkan ada juga yang sudah datang di sekitar lokasi sejak sore hari. Tadinya kita akan terus berjalan kaki. Namun mengingat lokasinya lumayan jauh, saya dan beberapa teman memutuskan untuk naik becak, sementara rombongan besar tetap melakukan napak tilas.

Semakin mendekati lokasi gerbang keraton kerumunan orang dan kendaraan semakin terasa. Becak kita juga terhenti oleh kerumunan di depannya, padahal lokasi pintu gerbang keraton masih lumayan jauh. Akhirnya kita putuskan untuk turun untuk melanjutkan dengan berjalan kaki. Setelah melihat jarum jam, ternyata prosesinya masih lumayan lama. Kita putuskan untuk makan terlebih dahulu. Untungnya dalam rombongan kita adalah atasan yang kebetulan orang asli Solo. Kita diajak untuk menikmati Nasi Liwet, “Nasi Liwet Bu Wongso Lemu Asli” nama warungnya di daerah Keprabon Kulon, yang ternyata sudah sangat terkenal.

Nasi liwet rupanya terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan kaldu ayam. Paduan inilah yang ternyata membuat nasi terasa gurih dan beraroma lezat. Dalam penyajiannya nasi liwet dipadukan dengan sayuran jipang (labu siam) yang dimasak pedas, telur pindang rebus, daging ayam yang disuwir, kumut (kuah santan yang dikentalkan). Disamping itu ditambahkan juga dengan usus ayam, hati ampela yang direbus, bacem tahu tempe, rambak kulit sapi atau kerupuk biasa sebagai pelengkap. Khas-nya lagi penyajiannya tidak dengan piring, tetapi dengan daun pisang yang dipincuk. Mmmm… uenak tenan. Sebagai minuman, kita disuguhi es buah lengkeng. Saya sendiri tidak tahu apakah ini juga minuman khas Solo atau bukan, yang pasti saya baru merasakannya di Solo.

Selesai makan, kita meneruskan perjalanan. Wow…. ternyata kerumunan orang dan kendaraan yang terjebak kemacetan semakin padat. Kita terus berjalan disela-sela knalpot kendaraan dan gerombolan orang yang lesehan dibahu jalan. Dijalan utama hampir dipastikan seluruh kendaraan tidak bisa bergerak. Jangankan di jalan utama, pada bahu jalan yang seyogyanya untuk pejalan kaki juga dipenuhi oleh warga yang memarkir motornya. Alhasil ruang gerak untuk berjalan pun sangat terbatas. Entah karena kesal terjebak kemacetan atau karena disengaja, beberapa anak muda yang terkumpul dalam geng motor memutar gas motor mereka sehingga raungan bunyi kendaraannya menarik perhatian. Gerakan langkah kaki kita hampir mencapai mulut gerbang keraton.

Tiba-tiba seperti ada yang mengomandoi, tepat pukul dua belas malam suasana sunyi senyap. Semua orang mematikan mesin kendaraannya, termasuk gerombolan anak muda geng motor tadi. Saya yang terpisah dari rombongan besar berdiri heran dan mencoba bertanya dengan anak muda di sebelah kanan saya, mengapa semua orang mematikan mesin kendaraannya. Anak muda tadi menjawab dalam bahasa jawa (kondisi yang sudah saya duga, karena dia pasti tidak mengira kalau saya berdiri disampingnya tersebut sebagai pendatang, hehe), namun artinya secara umum adalah kira-kira demikian, bahwa arak-arakan kirab sudah terlihat keluar dari pintu gerbang keraton. Antara penasaran dengan tidak ingin ketinggalan momentum, saya pun merapat dan menembus gerombolan orang hingga akhirnya berhasil mencapai bibir barisan paling depan. Benar adanya, ternyata barisan kirab sudah mulai melewati pintu gerbang keraton.

Kirab pusaka satu suro adalah prosesi kirab pusaka-pusaka sakral yang dimiliki oleh keluarga kraton maupun Puro Mangkunegaran. Kirab dilakukan pada malam satu suro (tahun baru jawa) atau malam tahun baru islam. Kirab di Puro Mangkunegaran biasanya dilakukan mulai pukul tujuh malam sampai selesai dengan cara berjalan kaki mengelilingi tembok pura dengan tapa bisu alias tidak mengeluarkan suara selama kirab. Sedangkan kirab pusaka di Keraton Surakarta baru dimulai pada tengah malam sampai dengan sekitar pukul tiga dini hari, dengan rute melalui Alun-Alun Lor, Gladhag, Sangkrah, Pasar Kliwon, Gading, Gemblegan, Nonongan, Jalan Slamet Riyadi dan kembali ke keraton melalui Gladhag dan Alun-Alun Lor dengan melalui jalur yang disebut Pradaksina (mengikuti arah jarum jam), dengan selalu menjaga posisi keraton berada di sebelah kanan pusaka yang dikirab.

Pusaka yang dikirab dibawa oleh sentono dalem (keluarga kerajaan) dan abdi dalem yang terpercaya dan kuat secara fisik maupun spritual, mengingat pusaka tersebut dipercaya memiliki kekuatan spritual yang besar. Sebelum prosesi kirab dilakukan, pusaka-pusaka yang akan dikirab tersebut di-jamas (dibersihkan) terlebih dahulu. Selama pusaka dibawa keluar dari Dalem Ageng Probosuyoso, Susuhunan dan sentono dalem yang tidak ikut kirab akan melakukan sesi meditasi dan tahajud di Kagungan Dalem Masjid Pudyosono.

Salah satu yang membuat penasaran saya dalam barisan kirab tersebut adalah sebenarnya keberadaan Kyai Slamet. Kyai Slamet adalah sebutan dari sekelompok kerbau bule yang dalam barisan kirab tersebut menjadi pemimpin dan pembuka jalan atau “cucuk lampah”. Inilah menurut saya hewan yang paling terkenal seantero Kota Solo.

Konon menurut ceritanya, kerbau bule ini dulu bertugas menjaga satu pusaka milik keraton yang bernama Kyai Slamet, sehingga akhirnya, kerbau bule itu pun oleh masyarakat setempat diberi nama Kyai Slamet. Diceritakan juga, dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kerbau bule  adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang. Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kerbau bule  tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta, sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.

Kerbau ini biasa hidup mengembara di sekitar Solo, mereka datang ke Kemandungan Lor setiap perayaan kirab satu suro akan dimulai tanpa ada yang mengarahkan. Begitu juga ketika memimpin barisan kirab, mereka juga berjalan tanpa ada yang mengarahkan. Kirab itu sendiri biasanya tergantung kemauan dari kerbau bule “Kyai Slamet” tersebut. Adakalanya Kyai Slamet baru keluar dari kandang selepas pukul satu malam. Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kerbau keramat ini. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kerbau bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton.

Namun sayangnya, saya ketinggalan momentum untuk melihat secara langsung penampakan Kyai Slamet ini. Ketika saya tiba di bibir gerombolan paling depan, Kyai Slamet sudah jauh berlalu.

Bagi sebagian besar masyarakat Solo, kerbau ini dianggap keramat. Dan inilah bagian yang menariknya, masyarakat menyikapi kekeramatan kerbau bule ini sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal dan (maaf) menjurus kearah pemujaan. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kerbau bule. Tak cukup menyentuh tubuh kerbau, warga biasanya terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kerbau bule membuang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, warga pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi “ngalap berkah” atau mencari berkah Kyai Slamet. Hmmmm….

Terlepas dari kepercayaan yang berkembang, saya merasa beruntung bisa menyaksikan prosesi kirab pusaka tersebut secara langsung. Adapun cerita atau kepercayaan masyarakat terhadap apa yang bisa diharapkan dan dimintakan dari alur  prosesi dan keberadaan kerbau bule yang dikeramatkan dalam acara tersebut, saya tidak bisa berkomentar. Utamanya, saya bukan orang asli keturunan Solo yang tentunya mengetahui tradisi budaya tersebut hanya dari tulisan dan cerita yang kebetulan saja bisa saya tanyakan langsung dari penduduk setempat. Dan bagi masyarakat Solo kepercayaan tersebut mungkin sudah terpaut erat dengan kepercayaan yang sudah turun temurun.

Yang terpenting bagi saya adalah setidaknya bisa berkesempatan secara langsung mengetahui dan menyaksikan satu tradisi yang berkembang dan menjadi budaya masyarakat di Solo.

Advertisement

About Admin

Music, Event, Traveling & Lifestyle News and Photography

Discussion

4 thoughts on “Tradisi Kirab Pusaka dan Berkah Kyai Slamet pada Malam Satu Suro

  1. …lebih menarik klo ad dokumentasi gambarnya, lebih visual….trmksh. Btw it’s a great story.

    Posted by ratna | 26 December 2009, 9:33 am
  2. Seperti anda, Saya sangat tertarik dengan adat istiadat kita, oleh karena itu saya membahas tentang budaya pernikahan adat yang ada di Indonesia, mohon masukan dan dukungannya ya makasih 🙂

    Posted by pernikahan adat | 10 January 2010, 3:57 am
  3. salam kenal dari wong solo Gan…

    Posted by wong solo | 6 April 2010, 8:00 pm
  4. Saya pernah tinggal di solo selama setahun. Orangnya ramah2. 🙂

    Posted by Tongkonan | 18 June 2010, 4:26 pm

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s


Copyright © 2023 GO-STAGE.com Email: info@go-stage.com

%d bloggers like this: