Minggu dua puluh tujuh desember dua ribu sembilan, bersama rekan-rekan sesama anggota Cibubur Cycling Community (C3) akhirnya kesampaian juga menjajal trek gowes “Pondok Pemburu”. Sebenarnya ini adalah pengalaman pertama saya gowes diluar trek C3 setelah tidak aktif gowes beberapa bulan lalu. Sehingga biar pun sudah pernah mencicipi trek Rindu Alam Puncak, namun gowes kali ini saya anggap sebagai titik awal untuk kembali aktif mencicipi trek-trek yang terbilang sangat menantang dan memerlukan kemampuan serta teknik gowes yang lumayan tinggi.
Berawal dari ajakan salah seorang rekan goweser melalui milis C3, maka terkumpullah 14 orang goweser yang confirm ikut serta gowes ke Pondok Pemburu kali ini. Dari komplek perumahaan TheAddress berangkat enam orang, Om Febby, Om Ismail, Om Wisnu, Om Redi, Om Bagus dan saya sendiri. Untuk menghemat waktu, loading sepeda kita lakukan malam hari sebelumnya. Kita berangkat dari komplek sekitar pukul 06.00 dan rencananya kita akan bertemu dan berkumpul dengan goweser dari perumahan lainnya di pelataran parkir RM Sarimande yang terletak di sebelah kiri jalan setelah keluar pintu tol ciawi.
Tiba di lokasi pertemuan sekitar pukul 06.30. Rupanya disana sudah berkumpul goweser dari Citra Grand, yaitu Om Cipto, Om Asep, Om Jodi, Om Tato dan Om Yongky. Kemudian ada juga Om Anto dan Om Galih goweser dari Kranggan, dan Om Yani dari Raffles. Beberapa goweser sudah saya kenal sebelumnya, namun beberapa lagi hanya kenal di milis dan baru kali pertama bertatap muka. Saya sendiri baru tahu jika ternyata Om Yani adalah satu almamater dengan saya dari IPB. Meskipun kita terpaut sepuluh tahun angkatan, namun begitu lah asyiknya jika sudah terkumpul dalam sebuah komunitas, semuanya bisa beradaptasi dalam waktu yang cepat.
Dari pelataran parkir RM Sarimande, kita melanjutkan perjalanan dengan menyewa empat angkot menuju titik point jalur gowes Pondok Pemburu di Kampoeng Awan, Mega Mendung. Masing-masing angkot diisi empat sepeda berikut pemiliknya, dengan tarif sewa sebesar tujuh puluh lima ribu rupiah per angkot. Perjalanan menuju Kampoeng Awan ini memakan waktu tempuh sekitar 45 menit, dengan kondisi jalan yang dilalui berbatuan, berkelok dan menanjak. Karena baru pertama, saya kemudian berandai-andai, jalur mobilnya sudah se-ekstrim ini, bagaimana dengan jalur atau trek utama nantinya?
Rupanya angkot yang saya tumpangi merupakan angkot kedua yang tiba. Sambil menunggu rekan yang lain, kami mulai memasang dan mempersiapkan serta mengecek sepeda, termasuk memakai protector untuk keamanan kaki dan tangan. Tanpa harus dikomando, masing-masing individu harus mempersiapkan keamanan dan keselamatan buat dirinya sendiri. Yang sudah berulang kali gowes di jalur tersebut pun melakukan hal yang sama, karena masing-masing dari kita tidak akan bisa menduga kondisi jalur yang akan kita lalui. Penjelasan dari rekan-rekan goweser yang sudah pernah menjajal jalur tersebut sangat diperlukan, terutama sharing informasi kondisi jalur yang akan dilalui secara umum.
Setelah briefing dan berdoa untuk keselamatan bersama perjalanan menuju Pondok Pemburu pun di mulai. Kami harus ekstra hati-hati mengingat jalur yang dilalui basah dan licin, mungkin akibat dari hujan semalam. Waktu briefing para rekan goweser yang sudah pernah menjajal jalur tersebut memberitahu jika jalur akan dilalui menuju Pondok Pemburu akan menanjak dengan kondisi jalan berbatuan besar dan kemiringan yang bervariasi. Diingat kan juga supaya satu setengah kilo meter pertama diupayakan terus bergerak meskipun harus menuntun sepeda, mengingat banyak tawon yang bisa menyerang kita setiap saat.
Sekitar tiga ratus meter pertama kami masih bisa nikmat menggowes, biarpun dengan kondisi jalan menanjak dan licin karena campuran dari lumpur, tanah liat dan bebatuan. Semakin ke atas kondisi jalur semakin menanjak, licin dan berbatuan. Disini rombongan terpecah menjadi dua, sebagian terus berusaha menggowes dan sebagian lagi memutuskan untuk TTB alias “tuntun tuntun bike”. Saya termasuk yang memutuskan untuk TTB. Disamping untuk menghemat nafas, tanjakan yang dilalui rata-rata sekitar 30-40 derajat dengan kondisi sangat licin, tidak rata dan bebatuan. Sebenarnya kalau kondisinya tidak licin masih enak untuk digowes.
Sambil terus TTB, kami menikmati pemandangan yang terhampar di sisi kiri, sungguh indah bisa menyaksikan paduan jurang, lembah, titik-titik perumahan, perbukitan dan gunung yang bisa disaksikan dengan jelas dari sisi tempat kami berdiri. Ditambah dengan udara pegunungan dan pepohonan pinus yang segar. Kami terus bergerak, dengan memadukan antara TTB dan menggowes. Sampai akhirnya sawung yang dimaksud dengan Pondok Pemburu itu pun terlihat. Kami pun semakin cepat menggenjot sepeda (namun tetap dengan kehati-hatian) mencapai pondok tersebut bergabung dengan rombongan pertama yang tiba lebih dulu. Puiih, waktu yang diperlukan untuk mencapai pondok tersebut kurang lebih satu jam. Kami pun beristirahat sejenak makan dan minum memulihkan tenaga untuk perjalanan yang lebih menantang nantinya.
Mengapa disebut pondok pemburu. Dengar punya dengar pondok ini sering digunakan sebagai tempat peristirahatan para pemburu babi di hutan tak jauh dari pondok. Para pemburu ini biasanya berkumpul dan beristirahat serta sharing informasi seputar aktivitas buruan mereka. Bila kita melewati jalur ini, maka keberadaan pondok ini dapat dengan mudah dikenali karena ini satu-satunya bangunan di sepanjang jalur tersebut. Teras pondok ini cukup nyaman dan sengaja dibuat menghadap hamparan lapangan rumput yang cukup luas. Disinilah biasanya para goweser istirahat sejenak sekedar melepaskan lelah.
Setelah merasa tenaga cukup terkumpul kembali, kami siap-siap meneruskan perjalanan. Rupanya jalur yang akan kami lewati adalah jalur tanjakan yang tadi kami lalui. Berarti sekarang jalurnya berbalik alias turunan. Waw!! saya jadi mengingat-ingat dibagian mana tadi yang menjadi titik-titik sangat ekstrim yang perlu diwaspadai. Yang pasti hampir semua bagian perlu diwaspadai.
Kondisi jalur tidak rata, basah, licin, berbelok serta dengan kemiringan turunan rata-rata 30-40 derajat. Namun yang sangat perlu diwaspadai adalah bebatuannya. Seperti yang disinggung di depan, bebatuan yang terdapat dijalur ini campuran antara batu koral dan batu kali dalam ukuran besar (bahkan ada yang sebesar kepala) yang tidak semuanya tertanam, artinya ada juga yang hanya teronggok begitu saja. Dalam kondisi kecepatan biasa, apabila tidak hati-hati bebatuan ini bisa membuat ban sepeda kita tergelincir, apalagi dengan kondisi genjotan sepeda menurun dan dengan kecepatan tinggi.
Karena jalurnya sangat ekstrim, sebelum meluncur tak lupa saya berdoa, mengatur gigi depan dan belakang serta mengecek protector tangan dan kaki. Untuk menghindari tabrakan dari goweser di belakang, kita pun bergerak dengan menjaga jarak. Saya sendiri tidak membawa speedo meter, namun perkiraan yang dirasakan saya meluncur diturunan tersebut dengan kecepatan antara 30 sampai dengan 50 km per jam. Rekan-rekan goweser yang memakai sepeda dengan spesifikasi khusus (downhill) dan sudah terampil dengan medan seperti itu bahkan bisa meluncur dengan kecepatan yang lebih dari itu.
Konsentrasi, handling sepeda dan teknik pengereman serta feeling menjadi sangat amat penting. Salah perhitungan sedikit dapat membuat kita terjungkal dan berciuman mesra dengan bebatuan. Pengalaman para goweser C3 yang pernah menjajal trek ini sebelumnya sudah terjadi beberapa kali accident, baik itu yang patah tulang maupun yang terjun bebas ke tepian jurang hingga kedalaman 10 meter.
Saya sendiri hampir mengalami kejadian serupa. Pada satu turunan yang menikung dengan bebatuan yang besar-besar saya meluncur dengan kecepatan tinggi. Ketika melewati tikungan tersebut saya lihat kondisi bebatuan yang besar dan jalan yang berlobang. Dalam kondisi meluncur kecepatan tinggi, saya mencoba memadukan permainan rem dengan feeling, namun di satu sisi sedetik terlintas keragu-raguan.
Disinilah sebenarnya yang tidak boleh dilakukan. Meskipun hanya sedetik, keragu-raguan tersebut fatal karena membuat feeling kita terganggu, dan…. ban depan sepeda saya melindas bebatuan besar yang ternyata tidak terbenam, hasilnya sepeda saya tergelincir. Saya pun cepat melakukan tindakan pengamanan. Kalau saya tetap memegang sepeda sudah bisa dipastikan saya akan terjungkal ke depan dan mencium bebatuan tersebut dengan mesra. Hasil akhirnya pasti sudah bisa dibayangkan. Untungnya secara refleks saya mengerem dan melepaskan pegangan serta cepat menjajakkan kaki kanan saya berguling di ilalang di samping kanan jalan dengan posisi tangan melindungi wajah dan kepala. Disini juga membuktikan bahwa protector yang kita pakai sangat bermanfaat.Wuiih, selamat badan saya tertahan pepohonan yang terletak dipinggir, karena dibalik ilalang dan pepohonan tersebut adalah bibir jurang. Syukurlah… kondisi badan saya tidak luka atau tergores sedikit pun dan karena tadi sempat mengerem sepeda saya juga tidak mengalami lecet sedikit pun. Menurut cerita rekan goweser sebelumnya, rupanya di tikungan menurun ini accident seringkali terjadi.
Saya pun melanjutkan meluncur dan akhirnya bisa sampai ke percabangan jalur tempat rekan gowes yang lain menunggu. Setelah lengkap, kita briefing sejenak tentang jalur lanjutan yang akan ditempuh di tepian Gunung Pancar. Dari sisi kondisi, jalur selanjutnya tidak se-ekstrim yang sudah dilalui, artinya tidak ada turunan dan tanjakan bebatuan yang berarti. Hanya saja yang perlu diwaspadai dan justru harus lebih hati-hati adalah jalur selanjutnya adalah berupa single trek (artinya hanya bisa dilalui satu sepeda) dengan ilalang tebal dan berbatasan langsung dengan bibir jurang. Jika jatuh kita diperingatkan untuk membuang badan atau menjajakkan kaki kita ke arah kiri, karena saking sempitnya jalur tersebut jika kita menjajakkan kaki ke kanan maka sudah bisa dipastikan kita akan menginjak bibir jurang. Menurut cerita para goweser sebelumnya, disinilah accident yang menyebabkan salah seorang rekan goweser (beserta sepedanya) terpeleset ke dalam jurang sedalam 10 – 15 meter. Rekan goweser yang tepat berada di depan saya hampir saja mengalami. Untungnya dia secara refleks menahan sepeda dan membuang badan ke kiri.
Setelah jalur yang menegangkan ini, selanjutnya jalur tanah yang panjang dengan perpaduan turunan dan tanjakan datar. Pemandangannya pun terlihat sangat indah. Bagi saya pribadi, jalur ini terasa sebagai jalur pelepasan atau pelampiasan setelah melewati dua jalur yang menengangkan dan menantang. Saya pun memacu sepeda dengan kecepatan tinggi. Beberapa rekan goweser bahkan mengeluarkan teriakan sambil menikmati kecepatan tinggi yang bisa dipacu. Pada penghujung jalur kita berhenti sebentar menunggu rekan-rekan yang lain. Setelah itu kita melanjutkan perjalanan, jalur yang ditempuh adalah jalan biasa. Beberapa rekan goweser kembali memacu sepeda dengan kecepatan tinggi hingga akhirnya kita tiba di depan sebuah vilayang disebut-sebut sebagai Vila Prabowo. Kita berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan perjalanan dan beristirahat di sebuah warung di tepian jalan raya. Oleh rekan goweser sebelumnya warung ini dinamai “Warung Nyai”.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju arah pulang (pelataran parkir RM Sarimande). Sepeda kita gowes menyusuri jalan raya menuju dan melewati area Golf dan Resort Gunung Geulis. Trek diseputar Gunung Geulis juga perlu diwaspadai. Meskipun pemandangannya indah namun jalur yang dilalui masih bebatuan dan didominasi turunan. Bedanya bebatuan disini tertanam di tanah sehingga memacu sepeda dengan kecepatan tinggi pun tidak jadi masalah. Paling dampaknya adalah pegal dipergelangan tangan, bahu dan punggung akibat menahan laju sepeda. Untungnya saya pernah gowes melewati jalur Gunung Geulis beberapa waktu lalu. Kita pun tiba di bibir sungai yang diatur oleh pintu air Katulampa. Dan sekitar pukul 12.00 siang kita tiba kembali di pelataran parkir RM Sarimande.
Secara umum perjalanan gowes kali ini fun and safe terlepas dari beberapa masalah teknis dan kejadian yang saya dan salah seorang rekan alami. Dari setiap pengalaman menjajal jalur atau trek yang ekstrim seperti ini maka keamanan dan keselamatan pribadi dan rombongan sangat penting menjadi catatan. Sebanyak apapun jam terbang dan sebaik apapun penguasaan teknik seorang goweser namun situasi dan kondisi jalur atau trek saat itu harus tidak boleh dianggap remeh. Dan yang terpenting adalah kebersamaan antar sesama goweser sangat diperlukan.
Sy sedang mereka reka kenapa warung kecil itu di namakan ‘Warung Nyai’ oleh para goweser.
Pasti si penjualnya seorang gadis desa yg kemayu dan selalu menggunakan kain kebaya ya, he he…
mmm….kurang lebih begitu lah bozz…. tapi kayaknya gak kain kebaya deh…. kain yang laen…:-)